Monday, 27 February 2017

PROFIL LOUIS BRAILLE



PENEMU AKSARA BRAILLE UNTUK PARA TUNANETRA

Oleh : DR. Saharuddin Daming, SH., MH.

Salah satu instrumen penting dalam kehidupan para penyandang Tuna Netra dewasa ini adalah aksara timbul yang disebut Braille melalui perantaraan huruf ini, Tuna Netra dapat membaca berbagai informasi dengan teknik perabaan pada ujung jari. Tapi tahukah kita jika huruf braille yang telah dipakai oleh para Tuna Netra sedunia untuk membaca dan menulis lebih dari satu abad, ternyata di ciptakan oleh seorang tuna netra juga yang bernama Louis Braille.

Louis Braille lahir pada tanggal 4 Januari 1809 di Coupvray, sebuah kota yang terletak 40 km sebelah timur Paris Prancis. Hari kelahiran Louis Braille tersebut kemudian menjadi hari Braille internasional. Ia adalah anak bungsu dari empat bersaudara yaitu Louis Simon, Catherine Josephine dan Marie Celine. Ayahnya bernama Simon Rene, seorang pembuat pelana dan perlengkapan kuda lainnya, sedang ibunya bernama Monique ibu rumah tangga biasa.

Ketunanetraan yang disandang Braille bukanlah dari bawaan lahir, melainkan timbul setelah ia berusia lima tahun. Penyebab kebutaannya tidak langsung total, tetapi melalui suatu tahapan selama kurang lebih dua tahun. Ketunanetraan yang disandang Braille bermula pada tahun 1812, yang ketika itu ia berusia 3 tahun. Dimana anak seusia ini, sudah memiliki rasa keingintahuan terhadap berbagai hal termasuk profesi ayahnya. Ia kemudian melakukan eksperimen untuk mencoba-coba meniru pekerjaan ayahnya yang dilihat cukup menyenangkan itu dengan memanjat ke atas bangku kayu yang tinggi.

Suatu ketika Simon Rene ayahnya sedang bepergian menemui petani yang memerlukan perlengkapan kuda, Braille memanfaatkan kesempatan itu untuk memeriksa dan mencoba berbagai peralatan kerja ayahnya. Ia mengambil  sepotong kulit dan meraih pisau dengan penuh minat meniru gerak-gerik ayahnya. Akan tetapi alat pemotong yang sangat tajam bagi anak mungil yang berumur tiga tahun seperti Braille, justru dapat menjadi alat yang sangat berbahaya. Karena tidak lama kemudian di bengkel tempat Simon bekerja sehari-hari, terdengar suara jerit tangis seorang anak yang merintih kesakitan. Dengan sigap mereka yang mendengar suara tangis itu langsung berhamburan ke tempat kejadian dan ironisnya Braille ditemukan menangis tersedu-sedu dengan darah mengalir deras dari matanya. Setelah diamati sejenak maka dapatlah dipastikan bahwa kecelakaan yang dialami Braille disebabkan oleh alat kerja ayahnya yang terlepas dari tangan Braille kemudian menusuk matanya.

Monique ibu Braille yang menyaksikan kejadian itu sangat panik dan bingung mau berbuat apa untuk menolong putra bungsunya itu kecuali mengambil air bersih dan kain linen putih bersih untuk membalut luka mata Braille yang berdarah. Seorang wanita tua yang biasa mengobati dengan ramuan dari tumbuh-tumbuhan membawa sari bunga teratai dan meletakkannya di atas mata Braille yang terluka. Sesaat kemudian, Braille berhenti menangis, darah luka telah berhenti mengalir dan dokter setempat telah berusaha menolongnya. Namun sangat disayangkan karena pada masa itu ilmu kedokteran belum memiliki metoda penanggulangan infeksi sebagaimana yang ditemukan Edward Ginner tentang obat penicillin.

Dengan rasa iba dan prihatin, dokter-dokter dan anggota keluarga memandang luka pada mata Braille yang memerah dan bengkak, kelopak matanya melepuh dan tampak memar sebagai pertanda penglihatan Braille sulit dipulihkan. Betapa tidak karena infeksi yang diderita mata Braille mulai menjalar ke mata sebelah. Akibatnya dalam pandangan Braille, benda-benda di sekelilingnya menjadi kabur, dan seakan-akan diselimuti kabut. Gerakannya menjadi kaku dan lebih berhati-hati. 

Karena sudah merupakan peristiwa yang berulang dan terjadi sehari-hari, semua anggota keluarga akhirnya terbiasa melihat Braille menabrak-nabrak perabotan rumah, terpeleset di tangga, menjatuhkan piring ketika meraih atau meletakkannya di atas meja. Semua itu menandakan gejala-gejala kebutaan yang akhirnya menjadi permanen ketika Braille berusia 5 tahun.    

Ketika Braille berusia enam tahun, atau tiga tahun sejak ia mulai mengalami kebutaan, Abbe Jacques Palluy seorang pendeta datang ke desanya untuk suatu misi keagamaan. Dalam melaksanakan tugasnya Ia kemudian berkenalan dengan Braille kecil dan dalam beberapa minggu sang pendeta sudah menjalin persahabatan dengan Braille kecil. Dari Abbe Paully, Braille yang telah Tunanetra banyak mengenal tentang alam sekitarnya dan tentang agama yang diyakininya.

Atas saran dari Abbe Palluy, Becheret seorang guru di desa itu menerima Braille sebagai murid di sekolahnya. Sekolah yang menerima Braille tersebut adalah sekolah umum (bukan sekolah luar biasa / sekolah khusus). Setiap hari Braille pergi ke sekolah dan duduk di bangku depan dan sejak awal dia menjadi murid yang paling pandai di kelas. Atas bantuan Abbe Palluy pula Braille diperkenalkan dengan seorang bangsawan kaya di desanya yang bernama Marquis yang nantinya meminta kesediaan Valentin Hauy pengelola sekolah luar biasa di  Paris untuk menerimanya sebagai murid di sekolah tersebut.

Pada tanggal 15 Pebruari 1819 Braille ditemani ayahnya berangkat menuju Paris, di kota itu ia disambut dengan hangat oleh Dr. Guillie selaku direktur sekolah tersebut. Dalam bebarapa hari Braille telah mempunyai teman dekat, Gabriel Gauthier, yang tetap menjadi sahabat dekatnya selama sisa hidup Braille. Sedangkan dalam pelajaran kerajinan tangan, Braille tidak menemui kesulitan sama sekali. Ia sangat tekun dan lihai mengerjakan aneka keterampilan menganyam keranjang, merajut, membuat sandal. Tidak heran jika di akhir tahun pertamanya, ia memenangkan hadiah untuk kerajinan merajut dan membuat sandal.

Dalam hal membaca dan menulis yang dipelajari di sekolah itu Braille dan kawan-kawan pada awalnya menggunakan aksara yang membentuk kombinasi titik ciptaan Barbier (seorang kapten arteleri pasukan Raja Louis XVII). 

Meski peralatan tersebut sederhana, tetapi sangat berguna bagi dunia tunanetra seperti Braille untuk berkomunikasi dalam bahasa tulis. Alat tersebut berbentuk seperti mistar dengan tujuh alur sepanjang mistar. Untuk menulis, sehelai kertas diletakkan pada alat tersebut, sebuah jepitan diletakkan dengan tepat di kertas dan dapat digeser-geser sepanjang mistar. Pada jepitan geser ada jendela kecil yang berguna untuk membantu pemakai menempatkan titik-titik di atas kertas dengan tepat, meletakkan kertas pada alur mistar dengan rapi. Titik atau garis dibuat dengan bantuan alat mirip pensil berujung runcing dengan pegangan berujung bulat. Alat itu disebut stylus yang di Indonesia disebut Pen. 

Semakin pandai Braille menggunakan sonografi ciptaan Barbier, ia semakin mengakui bahwa ada kesulitan yang merepotkan dalam sistem ini, Braille berusaha membuat beberapa perbaikan sementara. Eksperimen yang dilakukan Braille dari hasil perenungan yang mendalam tentang metode penulisan yang lebih efektif dan efisien bagi kaum senasibnya di masa depan, ternyata disambut gembira oleh teman-temannya dan dengan antusias, ia menunjukkan hasil eksperimennya kepada Dr. Pignier. 

Setelah mempelajari sistem Braille dengan saksama, Dr. Pignier yang cukup terkesan menyarankan untuk mendiskusikannya dengan Kapten Barbier, namun kapten Barbier menolak keyakinan Braille yang berani mengoreksi sistem penulisan gaya lama. Karena dengan menerima gagasan Braille dan kawan-kawan yang menuntut perubahan terhadap sistim yang dibuat oleh kapten Barbier berarti kapten Barbier kehilangan momen  untuk  tercatat dalam sejarah sebagai penemu aksara tunanetra. Tidak heran jika kapten Barbier kerap memaksakan kehendaknya agar sistem penulisan dan pembacaan yang diciptakannya, tetap dipakai. 
Pada usia 13 tahun Braille mulai memantapkan tekadnya untuk menyusun sistem penulisan yang paling efektif dan efisien bagi tunanetra. Ia bekerja dalam setiap waktu luang yang ia curi-curi diantara kesibukan pelajaran sehari-hari, lalu mengerjakannya lagi diwaktu malam begitu asrama beranjak sunyi.

Pertama, ia harus mengurangi jumlah titik dari sistem Barbier sehingga tiap lambang dapat diraba oleh satu ujung jari. Ia harus mengubah susunan titik-titik atau garis yang biasa tumpang tindih dengan susunan lain. Tiap kelompok titik harus dapat dibedakan tanpa salah dari kelompok titik lainnya. Rangkaian variabel inilah yang menjadi kriteria sistem yang digagas Braille dan ia yakin tinggal menunggu waktu untuk menemukannya.

Sekitar bulan Oktober ketika tahun ajaran baru dimulai, Braille merasa bahwa alfabet ciptaannya sudah siap. Ia telah menemukan cara untuk membentuk semua huruf alfabet, tanda aksen, tanda baca, dan lambang-lambang matematika dengan hanya menggunakan enam titik dan beberapa garis horizontal kecil. Kelompok titiknya sekarang jauh lebih sedikit dari pada sistem ciptaan Barbier, sehingga hampir tanpa menggerakan jari sama sekali huruf-huruf tersebut dapat teraba semua.

            Ketika mendengar kabar ini Gauthier teman dekat sekelasnya disekolah itu tidak dapat menahan kegembiraanya. Murid-murid mengerumuni Braille ketika ia menulis dengan kecepatan dan ketelitian yang mengesankan. Dalam beberapa jam, seluruh sekolah telah mengetahuinya, dan Braille dipanggil Dr. Pignier untuk memperagakan karyanya. Direktur sekolah Braille itu menatap penuh takjub akan demonstrasi singkat tersebut  “Karya Braille Sangat sederhana, sangat teliti, dan rapi” ujarnya. Walau hanya enam titik, tetapi anak cerdas ini telah menciptakan cara untuk membentuk keenam titik itu menjadi enam puluh tiga kombinasi.

            Pada tahun 1826, ketika baru berumur 17 tahun, Braille mulai mengajar aljabar, tata bahasa, dan geografi bagi murid-murid yang lebih muda. Braille menemukan panggilan jiwanya; murid tunanetra ini dengan cepat menjadi guru yang pandai. Menjadi guru sangat sesuai dengan panggilan hatinya. Perilakunya lemah lembut, sikapnya menarik, pola pikirnya mudah dipahami, dan penuh perhatian pada murid-muridnya.

            Pada tahun 1827 Braille mulai menerjemahkan sebuah buku tata bahasa ke dalam alfabet ciptaannya, diikuti oleh buku pelajaran tata bahasa yang lain dua tahun kemudian. Tahun 1828 ia mengembangkan sistemnya agar dapat dipakai untuk menulis not musik. Pada tahun tersebut, ia menghilangkan bentuk garis dalam sistemnya. Dalam praktek, garis memang mudah diraba, tetapi susah dibuat dengan menggunakan stylus.

            Pada tahun 1829, diterbitkan edisi pertama Louis Braille, Methode Of writing Words, Music and palin songs by means of dots, for use by the and arranged for Them (Metode menulis kata, not musik dan lagu-lagu sederhana dengan sarana huruf timbul untuk tunanetra). Buku ini merupakan pemunculan secara resmi alfabet Braille asli. Tetapi memerlukan waktu yang bertahun-tahun untuk memperjuangkan sistem Braille sebagai alfabet yang berlaku di lembaga tempat Braille bersekolah dan menjadi guru. 

Pada kata pengantar dalam buku itu, Louis Braille membandingkan kelebihan-kelebihan sistemnya dengan sistem ciptaan Kapten Barbier. Namun, dengan tulus, ia memberi penghargaan kepada Barbier atas gagasan menulis dengan menggunakan huruf timbul  ini. Sehingga pada bulan Agustus 1828, yang ketika itu dia berusia sembilas belas tahun, Braille secara resmi diangkat menjadi guru di lembaga tersebut. Ketika sekolah dibuka kembali setelah liburan musim panas usai, ia mengajar tata bahasa, geografi, berhitung dan musik.

Sebagai guru, Braille adalah sumber inspirasi yang sangat cemerlang dan visioner. Ia melaksanakan tugasnya dengan penuh karisma dan kebijaksanaan. Dengan sistemnya yang cepat dan sederhana serta metode pengajaran yang sangat komunikatif, murid-murid pun merasa sangat senang dan antusias menerimanya. Mereka berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik bukan hanya untuk saling mengungguli satu sama lain, tetapi untuk menarik hati guru yang sangat mereka kagumi sebagai orang yang sangat hebat, selalu bersikap bijak dan berpengetahuan luas, serta siap memberi nasehat yang tepat.

Sejak awal tahun 1830-an Braille sering kali jatuh sakit. Dan pada tahun 1831, Louis Simon kakak sulungnya menyampailkan kabar bahwa ayah mereka telah meninggal dunia. Pada saat itu Louis Simon datang seraya membawa surat terakhir ayahnya yang sempat didiktekan sang ayah di pembaringan sebelum menghembuskan nafas yang terakhir. Isi surat tersebut ditujukan kepada Dr. Pignier. Dimana Simon Rene ayah Braille memohon kepada direktur agar tidak mengabaikan Braille, tidak membuatnya menderita. Sehingga pada tahun 1835, kesehatan Braille semakin memburuk, ia baru berusia awal dua puluhan, tetapi ia kerap kelelahan, sering terserang demam, dan acap kali dadanya terasa sesak. 

Suatu malam, dengan sekujur tubuhnya panas terserang demam, mulutnya penuh darah. Dengan kesakitan ia meminta tolong. Tidak disangsikan lagi Braille menderita tuberkolosis berat. Pada masa itu penyakit ini sangat menakutkan karena belum ada obat untuk menyembuhkannya.

Kemudian Dr. Pigner mengatur ulang tugas-tugas guru, sehingga Braille hanya berkewajiban mengajar sedikit kelas, jadi ia tak perlu banyak bicara. Dan hanya melakukan persiapan-persiapan kecil, dengan kondisi ini Braille lebih punya kesempatan untuk melanjutkan kegiatan penelitiannya. Pada tahun 1836 ia menambahkan huruf W dalam alfabetnya sesui dengan permintaan murid-muridnya yang berasal dari Inggris              
Pada tahun 1839 Braille membuat huruf yang dapat dibaca baik orang yang tunanetra maupun yang non tunanetra, Braille menyebut penemuan barunya Rafigrafi, murid-murid di Lembaga tempat Braille mengajar, mempelajarinya dengan antusias yang sama meluapnya ketika mereka mempelajari huruf Braille.

Penemuan ini memperoleh kemajuan pesat ketika Francouis-Pierre Foucault, seorang rekan Braille yang juga tunanetra tetapi kreatif dan berjiwa inovatif yang tinggal di rumah sakit Quinze-Vingts, mengembangkan mesin untuk mencetak Rafigrafi. Pada tahun 1843 Braille mengalami pendarahan dalam dan mulai batuk darah. Ia terpaksa beristirahat berminggu-minggu. Dr. Allibert, (dokter sekolah) tetap saja menganjurkan Braille banyak istirahat dan berhenti mengajar. Braille dan Monsuir Daufau setuju.

Minggu demi minggu berlalu kunjungan dari kawan-kawannya yang datang membesuk menyebabkan Braille tak pernah ketinggalan berita mengenai aktifitas sekolah, bahkan sampai ke hal-hal sepele. Cuaca musim semi yang hangat tampaknya membawa pengaruh baik bagi kesehatan Braille, bersama Gauthier dan Coltat, ia pun mulai mengunjungi Dr. Pignier yang tinggal tak jauh dari sekolah semenjak dipensiunkan. Tetapi akibat kunjungan itu Braille mengalami pendarahan-dalam yang hebat kali ini Dr. Allibert (dokter sekolah) sangat khawatir. Ia lalu mendesak agar Braille bersedia pulang ke Coupvray dan beristirahat di sana. 

Pada musim semi 1843, Braille pulang ke Coupvray kota kelahirannya dan tinggal di sana selama enam bulan. Udara segar serta rawatan dengan penuh sayang oleh ibunya, kekhawatiran yang hilang dan jauh dari suasana intrik persaingan tak menyenangkan yang dikabarkan oleh Monsieur Dufau tampaknya membantu meringankan beban penyakitnya. Ia merasa jauh lebih sehat. Namun, Coupvray juga mendatangkan kesedihan bagi Braille di tahun itu. Antonie Becheret gurunya di sekolah umum meninggal dunia. Becheret adalah orang terakhir yang masih hidup yang amat berarti bagi Braille, karena Abbe Palluy dan Marquis d’Orvilliers telah meninggal lebih dulu. Karena merasa jauh lebih sehat, maka Louis Braille memutuskan untuk kembali ke Paris pada bulan Oktober 1843, namun ternyata situasi sekolah di kota Paris jauh lebih buruk. 

Pada awal tahun 1847 metode pencetakan baru yang disesuaikan dengan huruf Braille diuji coba di sekolah. Dalam segi pengajaran, huruf Braille mulai menampakkan kelebihannya dan membuat lompatan besar bagi mereka yang memanfaatkannya.

Menjelang tahun 1850, Braille merasa kesehatannya semakin parah, ia meminta pengunduran diri dari segala kegiatan mengajar. Namun direktur justru menawarkannya untuk tetap tinggal di lembaga dan memberinya tugas mengajar piano.

Menjelang Desember 1851 Braille sakit parah, usianya belum mencapai empat puluh tiga tahun. Dimana menurut Coltat, Braille mengalami pendarahan dalam yang amat parah sehingga pada tanggal 4 Desember 1851 menyebabkan Braille tidak dapat meninggalkan tempat tidur sama sekali.

Dengan pembawaannya yang tenang, penuh metode, dan pertimbangan, yang sudah menjadi sifatnya, ia mengatur segala macam urusan, mengatur agar ibunya dapat memperoleh penghasilan dari tabungannya, mengatur agar keponakan-keponakannya menerima sisa barang-barang miliknya.

Louis meninggal pada tanggal 6 Januari 1852, dua hari setelah ulang tahunnya yang ke empat puluh tiga (43). Dengan diringi rasa hormat dan kehilangan, Louis dimakamkan di Coupvray. Selama tiga puluh tahun berikutnya Louis menjadi termashur di seluruh dunia sebagai orang yang sangat berjasa bagi tunanetra. Louise Braille seorang anak tukang pembuat perlengkapan kuda dari Coupvray Prancis telah berhasil menciptakan media yang membuka jalan bagi penyandang tunanetra untuk memasuki kehidupan yang lebih baik. Kini tunanetra dapat membaca, menulis, berkomunikasi, belajar dan berkreasi dan dianggap sederajat dalam kehidupan masyarakat, sebagai orang-orang berbudaya dan berpendidikan.
                            
 Selanjutnya akan dipaparkan petikan Peristiwa - Peristiwa Penting dalam sejarah kehidupan Louise Braille.

1809                            Tanggal 4 Januari Louis Braille lahir di Coupvray Prancis.
                      (Yang sekaligus menjadi hari Braille internasional)                           
1812              Musim panas Louis berusia 3 tahun , buta sebelah akibat kecelakaan
1813-1814         Berangsur-angsur kehilangan penglihatannya yang sebelah lagi.
1815              Jacquis Palluy menjadi pendeta di coupvray dan mulai mengajar Louis
1816              Antoine Brecheret menawari Louis belajar di sekolah desa.
1819              Louis berangkat ke Paris di sekolah tunanetra pada usia 10 tahun
1824              Setelah 2 tahun Louis belajar dan menyelesaikan alfabet titiknya pada usia 15 tahun
1825              Louis belajar main piano
1827              Louis menciptakan 6 titik
1828              Louis menjadi asisten guru
1829              Louis menerbitkan buklet yang menjelaskan 6 titiknya
1833              Louis sebagai pemain organ sekolah  dan tetap bekerja selama hidupnya
1834              Dewan lembaga menolak izin penggunaan alfabet ciptaan Louis
1835              Louis memperlihatkan gejala tuberkolosis
1837                          Buku dalam Braille ditulis dan dicetak dalam lembaga oleh guru-guru
1843                          Kesehatan Louis memburuk Ia pulang ke Coupvray
1847              Foucault bekerja sama dengan Louis menyelesaikan pengembangan mesin tik braille 
1848                           Penyakit Louis semakin parah ia hanya dapat mengajar musik
1851              Louis sakit parah sehingga dirawat di rumah sakit
1852              Louis meninggal dunia berudia 43 tahun dan di makamkan di Coupvray
1854              Braille dijadikan sistem resmi tunanetra di Prancis
1878              Kongres internasional memilih Braille sebagai sistem terbaik bagi tunanetra di dunia        
1917              Braille menjadi sistem keperluan umum di Amerika Serikat
1929              Notasi musik Braille internasional diresmikan
1952          Jenazah Braille dipindahkan dari Coupvray ke Pantheon Paris, yang merupakan suatu  penghargaan  tertinggi  bagi warga Prancis.

No comments:

Post a Comment