Waktu itu sdr. SAHARURIDDN DAMING, SH., MH. adalah Mahasiswa
Program Doktor Dalam Bidang Hukum Pasca Sarjana Unhas. Mari kita simak
tulisannya, apakah masih ada paradigma kekerasan dan marginalisasi media massa
terhadap hak asasi penyandang disabilitas saat ini ? Ataukah sudah ada
perubahan paradigma ??
Tujuan
mengangkat kembali tulisan diatas adalah untuk mengingat dan mengenang kembali
kembali issue disabilitas waktu itu yang belum terakomodasi dengan baik di
media massa, bukan bermaksud mendiskreditkan media massa dan media elektonik
waktu itu.
Pada
tahun 2006, belum terbit UU No. 19 Tahun 2011 dan UU No. 8 Tahun 2016, sehingga
nuansa diskriminasi masih sangat kita rasakan. Sekarang tentu sudah banyak
berubah, walaupun belum seperti yang kita harapkan. Sebagian dari tulisannya
masih relevan dan sebagian juga di media massa sudah banyak mengalami
perubahan.
Saat ini kesulitan mengungkapkan pendapat dan aspirasi bisa
diterobos dengan adanya Media Sosial ( Medsos ) atau Media Online lainnya.Sehingga
informasi terkait issue2 disabilitas makin banyak kita jumpai. Nah inilah
artikel yang bisa membangkitkan kembali kenangan perjuangan dulu. Mari kita
simak :
"PARADIGMA KEKERASAN DAN MARGINALISASI
MEDIA MASSA TERHADAP HAK AZASI PENYANDANG DISABILITAS"
Oleh :
DR. Saharuddin Daming, S.H., MH.
Dalam
era globalisasi sebagaimana yang disinyalir oleh John Nais Bitt, setiap
kita berada dan terkait dengan frame aksiomatik modernitas yang menempatkan informasi sebagai postulat terunggul
dibalik trend p e r a d a b a n m u t a
k h i r . Keluasan dunia dengan segala misteri yangtadinya terbatasi oleh keterjangkauan
kekuatan manual, kini sirna dengan hadirnya teknologi informatika yang
menampilkan media massa sebagai salah satu instrumen pamungkas. Sebagai
paradigma baru kehidupan global, penduduk bumi yang berada di kutub yang berbeda,
tidak dapat menghindarkan diri dari l
i t i s d o m i n i u m m e d i a m a s s a .
Dewasa
ini, pergerakan peradaban dunia memang terkonsentrasi pada kekuatan post industrial, dimana
informasi dan media massa merupakan instrumen terpenting bahkan menjadi
komoditas primadona dalam mengukur tingkat kemapanan suatu bangsa. Tidak heran jika
media massa dan produk infomasi yang disebarluaskannya, kini disebut-sebut
sebagai bentuk kebutuhan supra primer. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai
bentuk agama baru dalam tata kehidupan moderen. Betapa tidak karena segala
bentuk perubahan dan aktifitas sosial yang terjadi dimasa lalu hingga di kekinian,
sedikit banyaknya merupakan hasil dari tata kerja media massa dan informasi. Itulah
sebabnya dalam tataran juris
filosophis, media massa memiliki peran yang sangat
urgen dan strategis dalam mencerahkan masyarakat memasuki peradaban m o d e r n
.
I d e a l i s m e tersebut dapat kita jumpai pada Pasal 3 (1) UU No.40/1999 tentang Pers Nasional Junto Pasal 4 ayat (1) UU No.32/2002 tentang penyiaran, mengatur bahwa media massa mempunyai peran penting dalam kehidupan sosial, budaya, politik dan ekonomi, sebagai sarana informasi, pendidikan, hiburan, serta kontrol dan perekat sosial. Dengan konstalasi peran media massa seluhur ini, tidak salah jika mantan Presiden Suharto pernah berkata bahwa ada dua sumber penerangan di dunia ini, yang pertama adalah matahari dan yang kedua adalah media massa. Dalam konteks inilah peran media massa amat diperlukan oleh Penyandang Disabilitas. Sebab secara kasat mata kita saksikan potret keberadaan Penyandang Disabilitas sebagai dunia yang masih berselimutkan kegelapan dan keterpurukan. Dengan menengok konfigurasi struktur sosial di Indonesia, kita tidak dapat memungkiri kenyataan jika kaum Penyandang Disabilitas merupakan kelompok masyarakat yang paling rentan, terbelakang dan sebagian besar hidup di bawah garis kemiskinan. Salah satu fenomena keterpurukan tersebut adalah karena paradigma
kebijakan maupun persepsi masyarakat terhadap eksesitensi Penyandang
Disabilitas, terbangun dari sikap dan perilaku stereotip maupun prejudisme. Jika ditelaah secara seksama, sebenarnya tesis yang
dikemukakan terakhir bukanlah hal yang berdiri sendiri, tetapi justru merupakan konfigurasi yang terbentuk melalui proses akumulasi keawaman
publik yang terkristalisasi melalui fragmentasi sosial dalam rentan waktu yang relatif
panjang, akibat media massa yang kurang bahkan tidak mengoptimalkan peran dan fungsinya sebagai
pendombrak kegelapan.
Dalam produk produk media massa nasional, kita sangat merasakan
betapa kurangnya informasi yang objektif, menyeluruh, dan transparan mengenai
keberadaan Penyandang Disabilitas dengan segala masalahnya.Tengoklah sajian
informasi dari media cetak favorit di tanah air, kita hampir jarang menemukan
komponen informasi yang tersaji itu menyangkut Penyandang Disabilitas. Kalaupun
ada, maka umumnya ditempatkan pada halaman atau kolom dengan frekwensi
perhatian pembaca yang relatif kecil. Hal yang sama juga terjadi pada media
elektronik. Bahkan yang disebut terakhir, malah cenderung mereduksi kalau bukan
menghilangkan hak Penyandang Disabilitas dalam mengakses secara lengkap dan
utuh informasi yang disajikan media massa dimaksud. Pemirsa tunanetra dari media elektronik misalnya,
terpaksa hanya menelan kekecewaan, ngedumel bahkan mungkin mengumpat didepan TV
lantaran informasi yang sedang maintrigger dipantaunya, tiba-tiba hanya mendengar lantunan
musik pengantar informasi lanjutan yang dikonversi dari karakter audio menjadi karakter
grafik. Marginalisasi media massa terhadap hak Penyandang Disabilitas dimaksud juga terjadi pada
penyandang tunarungu. Sampai saat ini, tak satupun stasiun TV yang sudi menyediakan
aksesibilitas berupa media interpreter bahasa isyarat sebagaimana yang pernah
dilakukan oleh TVRI dimasa lalu. Namun yang paling tragis lagi adalah maraknya
stasiun TV menayangkan berbagai program siaran dalam bentuk sinetron maupun komedi
situasi dengan menampilkan sosok Penyandang Disabilitas dalam berbagai peran. Celakanya
karena pengejawantahan lakon Penyandang Disabilitas dimaksud justru mendeskripsikan
sosok Penyandang Disabilitas dengan peran dan karakter yang desktruktif . Siapa yang tidak pernah menyangka jika film si
Buta dari Goa Hantu, Cecep, dan berbagai atraksi lawak yang mengekspresikan
peran atau lakon seorang Penyandang Disabilitas yang eksotis justru lebih
banyak membangun image buruk publik terhadap Penyandang Disabilitas. Ini
merupakan bukti konkrit, bahwa dibalik penayangan itu, tersingkap sebuah fakta
jika media massa sebenarnya melakukan eksploitasi Penyandang Disabilitas untuk
mempertinggi rating sekalipun harus mengorbankan Penyandang Disabilitas dengan modus
kekerasan media.
Sampai disini, media massa bukan saja gagal mengejawantahkan peran
dan fungsinya sebagai social change of agent dalam mempertinggi harkat dan martabat Penyandang Disabilitas,
media massa malah justru menjadi bagian dari pelaku, marginalisasi dan kekerasan
kultural terhadap dunia Penyandang Disabilitas. Sehingga tidak heran jika di tengah-tengah
peradaban dunia telah melintasi post industrial, komunitas Penyandang Disabilitas ternyata masih saja terpuruk di
liang liang kerentanan, keterbelakangan dan kemiskinan. Padahal baik UU No.
40/1999 maupun UU No. 32/2002, menegaskan jaminan hak setiap warga negara tidak
terkecuali Penyandang Disabilitas dalam mengakses manfaat media massa, antara
lain :
(a) “ memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui
(b) “menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya
supremasi hukum, dan hak azasi manusia serta menghormati kebhinekaan,
(c) mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat,
akurat dan benar ,
(d) melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap
hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan umum, dan (e) memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Kosakata
:
aksiomatik :
pernyataan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya
desktruktif :
bersifat merusak
postulat :
anggapan dasar; landasan duga
post industrial :
masa sesudah periode industrialisasi
litis dominium :
kemerdekaan dan kekuasaan
juris filosophis
: filosifi secara hukum
maintrigger :
pemicu utama
konfigurasi : wujud; bentuk; gambaran
No comments:
Post a Comment