Sunday 26 February 2017

MENENGOK KE BELAKANG DENGAN TULISAN Sdr. SAHARUDDIN DAMING, SH, MH PADA BULETIN SIPAKATAU EDISI I BULAN JUNI- JULI 2006

Waktu itu sdr. SAHARURIDDN DAMING, SH., MH. adalah Mahasiswa Program Doktor Dalam Bidang Hukum Pasca Sarjana Unhas. Mari kita simak tulisannya, apakah masih ada paradigma kekerasan dan marginalisasi media massa terhadap hak asasi penyandang disabilitas saat ini ? Ataukah sudah ada perubahan paradigma ??

Tujuan mengangkat kembali tulisan diatas adalah untuk mengingat dan mengenang kembali kembali issue disabilitas waktu itu yang belum terakomodasi dengan baik di media massa, bukan bermaksud mendiskreditkan media massa dan media elektonik waktu itu.

Pada tahun 2006, belum terbit UU No. 19 Tahun 2011 dan UU No. 8 Tahun 2016, sehingga nuansa diskriminasi masih sangat kita rasakan. Sekarang tentu sudah banyak berubah, walaupun belum seperti yang kita harapkan. Sebagian dari tulisannya masih relevan dan sebagian juga di media massa sudah banyak mengalami perubahan. 

Saat ini kesulitan mengungkapkan pendapat dan aspirasi bisa diterobos dengan adanya Media Sosial ( Medsos ) atau Media Online lainnya.Sehingga informasi terkait issue2 disabilitas makin banyak kita jumpai. Nah inilah artikel yang bisa membangkitkan kembali kenangan perjuangan dulu. Mari kita simak :

"PARADIGMA KEKERASAN DAN MARGINALISASI MEDIA MASSA TERHADAP HAK AZASI PENYANDANG DISABILITAS"

Oleh :

DR. Saharuddin Daming, S.H., MH.

Dalam era globalisasi sebagaimana yang disinyalir oleh John Nais Bitt, setiap kita berada dan terkait dengan frame aksiomatik modernitas yang menempatkan informasi sebagai postulat terunggul dibalik trend p e r a d a b a n  m u t a k h i r . Keluasan dunia dengan segala misteri yangtadinya terbatasi oleh keterjangkauan kekuatan manual, kini sirna dengan hadirnya teknologi informatika yang menampilkan media massa sebagai salah satu instrumen pamungkas. Sebagai paradigma baru kehidupan global, penduduk bumi yang berada di kutub yang berbeda, tidak dapat menghindarkan diri dari l i t i s d o m i n i u m  m e d i a  m a s s a .
Dewasa ini, pergerakan peradaban dunia memang terkonsentrasi pada kekuatan post industrial, dimana informasi dan media massa merupakan instrumen terpenting bahkan menjadi komoditas primadona dalam mengukur tingkat kemapanan suatu bangsa. Tidak heran jika media massa dan produk infomasi yang disebarluaskannya, kini disebut-sebut sebagai bentuk kebutuhan supra primer. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai bentuk agama baru dalam tata kehidupan moderen. Betapa tidak karena segala bentuk perubahan dan aktifitas sosial yang terjadi dimasa lalu hingga di kekinian, sedikit banyaknya merupakan hasil dari tata kerja media massa dan informasi. Itulah sebabnya dalam tataran juris filosophis, media massa memiliki peran yang sangat urgen dan strategis dalam mencerahkan masyarakat memasuki peradaban m o d e r n .

I d e a l i s m e tersebut dapat kita jumpai pada Pasal 3 (1) UU No.40/1999 tentang Pers Nasional Junto Pasal 4 ayat (1) UU No.32/2002 tentang penyiaran, mengatur bahwa media massa mempunyai peran penting dalam kehidupan sosial, budaya, politik dan ekonomi, sebagai sarana informasi, pendidikan, hiburan, serta kontrol dan perekat sosial. Dengan konstalasi peran media massa seluhur ini, tidak salah jika mantan Presiden Suharto pernah berkata bahwa ada dua sumber penerangan di dunia ini, yang pertama adalah matahari dan yang kedua adalah media massa. Dalam konteks inilah peran media massa amat diperlukan oleh Penyandang Disabilitas. Sebab secara kasat mata kita saksikan potret keberadaan Penyandang Disabilitas sebagai dunia yang masih berselimutkan kegelapan dan keterpurukan. Dengan menengok konfigurasi struktur sosial di Indonesia, kita tidak dapat memungkiri kenyataan jika kaum Penyandang Disabilitas merupakan kelompok masyarakat yang paling rentan, terbelakang dan sebagian besar hidup di bawah garis kemiskinan. Salah satu fenomena keterpurukan tersebut adalah karena paradigma
kebijakan maupun persepsi masyarakat terhadap eksesitensi Penyandang Disabilitas, terbangun dari sikap dan perilaku stereotip maupun prejudisme. Jika ditelaah secara seksama, sebenarnya tesis yang dikemukakan terakhir bukanlah hal yang berdiri sendiri, tetapi justru merupakan konfigurasi yang terbentuk melalui proses akumulasi keawaman publik yang terkristalisasi melalui fragmentasi sosial dalam rentan waktu yang relatif panjang, akibat media massa yang kurang bahkan tidak mengoptimalkan peran dan fungsinya sebagai pendombrak kegelapan.

Dalam produk produk media massa nasional, kita sangat merasakan betapa kurangnya informasi yang objektif, menyeluruh, dan transparan mengenai keberadaan Penyandang Disabilitas dengan segala masalahnya.Tengoklah sajian informasi dari media cetak favorit di tanah air, kita hampir jarang menemukan komponen informasi yang tersaji itu menyangkut Penyandang Disabilitas. Kalaupun ada, maka umumnya ditempatkan pada halaman atau kolom dengan frekwensi perhatian pembaca yang relatif kecil. Hal yang sama juga terjadi pada media elektronik. Bahkan yang disebut terakhir, malah cenderung mereduksi kalau bukan menghilangkan hak Penyandang Disabilitas dalam mengakses secara lengkap dan utuh informasi yang disajikan media massa dimaksud. Pemirsa tunanetra dari media elektronik misalnya, terpaksa hanya menelan kekecewaan, ngedumel bahkan mungkin mengumpat didepan TV lantaran informasi yang sedang maintrigger dipantaunya, tiba-tiba hanya mendengar lantunan musik pengantar informasi lanjutan yang dikonversi dari karakter audio menjadi karakter grafik. Marginalisasi media massa terhadap hak Penyandang Disabilitas dimaksud juga terjadi pada penyandang tunarungu. Sampai saat ini, tak satupun stasiun TV yang sudi menyediakan aksesibilitas berupa media interpreter bahasa isyarat sebagaimana yang pernah dilakukan oleh TVRI dimasa lalu. Namun yang paling tragis lagi adalah maraknya stasiun TV menayangkan berbagai program siaran dalam bentuk sinetron maupun komedi situasi dengan menampilkan sosok Penyandang Disabilitas dalam berbagai peran. Celakanya karena pengejawantahan lakon Penyandang Disabilitas dimaksud justru mendeskripsikan sosok Penyandang Disabilitas dengan peran dan karakter yang desktruktif . Siapa yang tidak pernah menyangka jika film si Buta dari Goa Hantu, Cecep, dan berbagai atraksi lawak yang mengekspresikan peran atau lakon seorang Penyandang Disabilitas yang eksotis justru lebih banyak membangun image buruk publik terhadap Penyandang Disabilitas. Ini merupakan bukti konkrit, bahwa dibalik penayangan itu, tersingkap sebuah fakta jika media massa sebenarnya melakukan eksploitasi Penyandang Disabilitas untuk mempertinggi rating sekalipun harus mengorbankan Penyandang Disabilitas dengan modus kekerasan media.

Sampai disini, media massa bukan saja gagal mengejawantahkan peran dan fungsinya sebagai social change of agent dalam mempertinggi harkat dan martabat Penyandang Disabilitas, media massa malah justru menjadi bagian dari pelaku, marginalisasi dan kekerasan kultural terhadap dunia Penyandang Disabilitas. Sehingga tidak heran jika di tengah-tengah peradaban dunia telah melintasi post industrial, komunitas Penyandang Disabilitas ternyata masih saja terpuruk di liang liang kerentanan, keterbelakangan dan kemiskinan. Padahal baik UU No. 40/1999 maupun UU No. 32/2002, menegaskan jaminan hak setiap warga negara tidak terkecuali Penyandang Disabilitas dalam mengakses manfaat media massa, antara lain :
(a) “ memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui
(b) “menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak azasi manusia serta menghormati kebhinekaan,
(c) mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar ,
(d) melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan umum, dan (e) memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Kosakata :

aksiomatik : pernyataan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya
desktruktif : bersifat merusak
postulat : anggapan dasar; landasan duga
post industrial : masa sesudah periode industrialisasi
litis dominium : kemerdekaan dan kekuasaan
juris filosophis : filosifi secara hukum
maintrigger : pemicu utama
konfigurasi : wujud; bentuk; gambaran

No comments:

Post a Comment