Sunday, 26 February 2017

Oleh - Oleh dari Negeri Sakura Edisi I/ Juni - Juli 2006


13 (Catatan Perjalanan Yehezkiel Parudani, S.Pd. ke Jepang)

Puji syukur kehadirat Ilahi adalah kalimat pertama yang secara spontan terartikulasi dari bibir saya sesaat setelah menerima pengumuman dari the Japan Braille Library yang menyatakan bahwa saya berhasil lulus seleksi untuk mengikuti the Second Teruko Ikeda ICT Scholarship 2005. Perasaan bahagia dan haru bercampur jadi satu seketika, karena dengan demikian, atribut sebagai wakil Indonesia pada event tahunan itu menjadi milik saya. The Second Teruko Ikeda ICT Scholarship adalah salah satu training komputer berskala internasional bagi penyandang tunanetra yang diselenggarakan oleh the Japan Braille Library dan NCBM Malaysia dengan sponsor utama Ms. Teruko Ikeda, seorang pengusaha besar dan paling sukses di Jepang.

Tahap awal dari rangkaian training berupa pengenalan jenis-jenis hardware dan software computer, berbagai aplikasi seperti Microsoft Word, Microsoft Excel, Internet Explorer, dan Windows Messenger berlangsung di Kuala Lumpur Malaysia dari tanggal 15 hingga 20 Agustus 2005. Pada tahap kedua yang berlangsung di Tokyo Jepang dari tanggal 21 Agustus hingga 18 September 2005, kami diberi materi tingkat advance seperti bagaimana menginstall JAWS (screen reader yang dapat membantu tunanetra bisa mengoperasikan komputer secara mandiri), bagaimana menset-up berbagai aplikasi program, bagaimana menggunakan Braille memo dan lain-lain sebagainya.
 

Di Jepang, selain mengikuti training komputer, saya dan 4 orang peserta lainnya masing-masing Mabel Gaerlan dari Philipina, Peter Wasape dari Papua New Guinea, Nira Adikara dari Nepal dan Wang Qhian dari China, juga mengikuti sejumlah kegiatan seperti diskusi dengan topik utama : apresiasi pemerintah terhadap komunitas penyandang disabilitas pada umumnya dan tunanetra pada khususnya di beberapa Negara berkembang, studi banding ke beberapa lembaga pendidikan bagi penyandang disabilitas dan jamuan makan yang diadakan secara bergantian baik secara institusional maupun personal. Kamipun diberi kesempatan mengunjungi beberapa obyek wisata dan pusat keramaian di Tokyo.

Meski Tokyo merupakan kota megapolitan dengan tingkat kepadatan lalulintas yang sangat tinggi, namun mobilitas Penyandang Disabilitas untuk beraktivitas sama sekali tidak terhalang. Pasalnya adalah seluruh pembangunan infrastuktur kota sangat aksesibel bagi Penyandang Disabilitas. Antara lain dengan membuat Braille line sebagai garis penuntun bagi tunanetra yang bermobilitas di sepanjang jalan-jalan protokol di Tokyo. Pembangunan Braille line seperti itu dapat pula kita jumpai pada semua kota besar di Jepang. Sementara untuk menghindarkan para tunanetra tercebur ke dalam selokan, pemerintah menutupi seluruh selokan besar yang ada di Jepang dengan tembok beton. Agar para tunanetra dapat bermobilitas dan beraktivitas secara aman, nyaman tanpa adanya kekhawatiran hilang/salah arah atau mengalami kecelakaan lalulintas, pemerintah membangun sistem suara penuntun atau voice guidance dan menempelkan tulisan huruf Braille pada semua fasilitas umum seperti bandara, stasiun kereta api, terminal bis, kantor pos, telepon umum, tempat pengambilan uang melalui ATM dan sebagainya. Demikian pula pada seluruh perempatan jalan raya diberi sign-sign tertentu sehingga para tunanetra dapat menyeberang jalan secara mandiri. Dua diantaranya yaitu perempatan jalan Itabashi dan perempatan jalan di pusat perbelanjaan termasyur di Jepang yakni Hakiabara. Sedangkan bagi Penyandang Disabilitas lain seperti pengguna kursi roda juga dapat mengakses seluruh bangunan dan fasilitas umum secara lancar tanpa kendala berarti. Pemerintah Jepang secara konsisten meregulasi budgeting dengan jumlah yang besar demi pembangunan dan kesejahteraan para Penyandang Disabilitas.

Pokoknya Jepang menurut saya adalah sorga bagi Penyandang Disabilitas. Di Malaysia, proses pembangunan bagi Penyandang Disabilitas hampir serupa dengan upaya yang dilakukan oleh pemerintah Jepang.


Di akhir training, masing - masing peserta diberi 1 unit laptop, 1 unit Braille memo dan allowance money. Biaya tiket pesawat dari negara masing-masing ke Kuala Lumpur dan Tokyo pp juga merupakan fasilitas yang ditanggung oleh panitia. Yang sangat mengesankan bagi saya selama mengikuti kegiatan prestisius itu adalah sikap keramah-tamahan, kedisiplinan dan konsisten masyarakat Jepang. Jika mereka telah membuat janji akan bertemu atau akan menjemput kita pada pukul 09.00, maka mereka tiba paling lambat tepat jam seperti itu. Kedisiplinan yang saya rasakan antara lain adalah pada saat di meja makan, kita tidak diperbolehkan makan sebelum mengucapkan “itada ki masu!”, begitupun kita tidak diperbolehkan meninggalkan meja makan sebelum mengucapkan kalimat : “gochizo sama desuta!”

Dalam suatu kesempatan makan malam, saya terpaksa harus menerima hukuman ringan dari Emi-san, seorang ibu yang bertugas sebagai pramuwisma di apartemen tempat kami menginap selama di Jepang karena mengabaikan dua kalimat tersebut. Disiplin sangat diutamaka di Jepang!






Catatan :
Sekarang sdr. Yehezkiel sudah menyelesaikan pasca sarjananya.

Artikel ini kami munculkan kembali untuk mengingatkan bahwa pembangunan di Jepang sangat menghormati dan mengangkat harkat dan martabat manusia tidak terkecuali penyandang disabilitasnya. Hal ini sebetulnya  sesuai sekali dengan budaya Sulawesi Selatan yaitu "Sipakatau". 

2 comments:

  1. Thanks for info jangan lupa kunjungi website kami ya https://bit.ly/2NttF6q

    ReplyDelete
  2. Thanks for info jangan lupa kunjungi website kami ya https://bit.ly/2NttF6q

    ReplyDelete