Monday, 27 February 2017

AKSESIBILITAS



PEDESTRIAN
Oleh : Bambang Permadi S.K.

Pedestrian adalah salah satu unsur aksesibilitas. Pedestrian adalah jalur pejalan kaki atau penyandang disabilitas pengguna kursi roda, yang dirancang berdasarkan kebutuhan orang untuk bergerak aman, nyaman dan tak terhalang.. Pedestrian bisa saja didesain sebagai trotoar, bisa juga diletakkan agak masuk ke dalam jika luasnya memungkinkan. Jadi semua trotoar adalah pedestrian, namun tidak semua pedestrian adalah trotoar. Trotoar diletakkan persis dipinggir jalan raya. Trotoar seperti yang kita saksikan dikota – kota di Indonesia umumnya kurang memperhatikan aksesibilitas, misalnya pada ujung – ujung pertemuan dengan jalan tidak dibuatkan ramp. Umumnya konstruksi ujung trotoar di Indonesia dibuat seperti tangga dengan perbedaan tinggi yang sangat menyolok dari beda 20 cm sampai 30 cm. Kondisi seperti ini sangat menyulitkan penyandang disabilitas bahkan non disabilitas sekalipun untuk mengaksesnya. Ada lagi trotoar yang terbuat dari paving block yang licin karena berlumut. Lebih lebih lagi banyak yang pemanfaatannya bukan untuk pejalan kaki, misalnya ditengah trotoar ditanam pohon – pohon pelindung, sehingga mengurangi space untuk pejalan kaki. Bahkan di kota – kota besar seperti Makassar misalnya banyak kita jumpai tiang – tiang listrik atau tiang telepon diletakkan di tengah trotoar. Pemasangan tiang – tiang tsb. terkesan tidak ada koordinasi antara PLN, TELKOM dengan Dinas Tata Kota. atau petugas – petugasnya tidak mengetahui adanya aturan aksesibilitas yang tertuang dalam PerMen PU 30 Tahun 2006. Semestinya public space seperti ini diperhatikan, sehingga kota tidak nampak semrawut dengan pemasangan- pemasangan tiang seperti itu.

Ada juga trotoir yang dibuat sangat membahayakan bagi disabilitas netra, karena trotoar tsb. diletakkan berdampingan dengan selokan besar dan dalam , serta tidak dilengkapi dengan handrail seperti yang kita lihat di Jln. Urip Sumoharjo - Makassar. ( Lihat gambar ). Dan hampir di semua kota ( kecuali beberapa kota seperti Denpasar) , trotoar yang dibuat  tidak dilengkapi dengan guiding block, warning block maupun jalur pengaman pada sisi trotoir. Untuk kota seperti Yogyakarta, public space untuk pejalan kaki sangat diperhatikan, indikasi adanya respect bagi pejalan kaki sangat diterapkan. Itu bisa kita lihat pada kawasan Malioboro. Kesadaran dan pemahaman masyarakatpun cukup baik. Tapi itu baru Yogya, Bandung dan Denpasar. Sebagian besar kota di Indonesia perilaku warga masyarakatnya yang kurang menyadari arti pentingnya pedestrian. Mereka dengan seenaknya membuat kedai – kedai atau warung – warung di atas trotoar atau mereka jadikan trotoar sebagai tempat parkir kendaraan. Pembangunan trotoar yang makan biaya besar terkesan asal ada fisiknya tanpa memikirkan asas kemudahan, keselamatan, kenyamanan, kemandirian, keamanan, keindahan dan rasa keadilan. Ujung – ujungnya Pemerintah Kota yang disalahkan dengan semrawutnya penataan pedestrian yang menjadi tempat bagi pedagang kaki lima mengais rejeki. Pemerintahpun sebetulnya sudah berbuat dengan menempatkan pedagang kaki lima itu pada tempat – tempat khusus untuk menjajakan dagangannya. Namun jumlah pedagang kaki lima membludak hingga tak tertampung di satu tempat. Ini adalah ekses dari pengangguran dan kurangnya lahan pekerjaan yang tersedia. Program penataan kota oleh Pemerintah Kota dinilai kurang berhasil. Tapi itu bukan kesalahan Pemerintah Kota semata. Kita semua bertanggung jawab dengan masalah – masalah yang ada di sekitar kita. Jadi kunci dari keberhasilan Pemkot dalam program ketertiban dan keindahan kota adalah pemahaman seluruh petugas akan peraturan dan komitmen dari seluruh petugas untuk saling berkoodinasi, juga sosialisasi kepada masyarakat agar masyarakat sadar akan aturan. Kembali ke masalah pedestrian. Secara teknis pedestrian harus memenuhi persyaratan teknis aksesibilitas. Persyaratan – persyaratan sebagai berikut :

a.   Permukaan
    Permukaan jalan harus stabil, kuat, tahan cuaca, bertektur halus tetapi tidak licin. Hindari sambungan atau gundukan pada permukaan, kalaupun terpaksa ada, tingginya harus tidak lebih dari 1,25 cm. Apabila menggunakan karpet, maka ujungnya harus kencang dan mempunyai trim yang permanen.

b.   Kemiringan
     Kemiringan maksimum 70 dan pada setiap jarak 9 m disarankan terdapat pemberhentian untuk istirahat.

c.   Area istirahat
      Terutama digunakan untuk membantu pengguna jalan penyandang disabilitas.

d.   Pencahayaan
      Berkisar antara 50-150 lux tergantung pada intensitas pemakaian, tingkat bahaya dan kebutuhan keamanan.

e.   Perawatan
      Dibutuhkan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kecelakaan.

f.    Drainase
      Dibuat tegak lurus dengan arah jalur dengan kedalaman maksimal 1,5 cm, mudah dibersihkan dan perletakan lubang dijauhkan dari tepi ramp.

g.   Ukuran
      Lebar minimum jalur pedestrian adalah 120 cm untuk jalur searah dan 160 cm untuk dua arah. Jalur pedestrian harus bebas dari pohon, tiang rambu-rambu dan benda-benda pelengkap jalan yang menghalang.

h.   Tepi Pengaman
      Penting bagi penghentian roda kendaraan dan tongkat tuna netra ke arah area yang berbahaya. Tapi pengaman dibuat setinggi minimum 10 cm dan lebar 15 cm sepanjang jalur pedestrian.

              
Untuk penyandang disabilitas ditambah dengan syarat lain yaitu :

a.      Pemasangan handrail pada trotoar di ujung –ujung persimpangan/ tempat penyeberangan dan diberi warna menyolok.
b.      Pemilihan material untuk permukaan trotoar, tidak boleh licin.
c.     Pemilihan trotoar khusus pada tempat tertentu untuk memberikan perbedaan bagi disabilitas netra (mulut tempat penyeberangan dsb)
d.    Lebar trotoar dan jalan setapak agar diperhitungkan untuk kemungkinan dapat dilewati oleh roda.
e.   Ketinggian rambu-rambu lalu lintas, reklame dan tanda-tanda lain diatas trotoar harus dapat dilewati oleh penyandang disabilitas netra.

Di tempat – tempat rekreasi pedestrian harus memperhatikan hal – hal sbb :

a.       Kemiringan dan lebar jalan setapak harus memenuhi persyaratan untuk dilalui kursi roda.
b.      Setiap perbedaan tinggi pertemuan jalan harus dilengkapi dengan ramp dan handrail tangga.
c.     Pada setiap jembatan dan pinggiran kolam yang dianggap membahayakan perlu diberikan pagar pengaman.
d.      Pertemuan plaza dan jalan-jalan setapak tidak boleh licin.
e.    Apabila terdapat rambu-rambu, papan penunjuk atau bidang reklame di atas plaza/jalan setapak maka ketinggian harus aman terhadap  pejalan kaki disabilitas netra.

Contoh – contoh gambar pedestrian :

T
   

   Trotoar di Jalan Urip Sumoharjo Makassar, perhatikan trotoir yang ditanami pohon berdampingan dengan selokan lebar dan dalam, sangat membahayakan penyandang disabilitas netra juga pengguna kursi roda.






   
   Trotoar di Denpasar. Coba kita bandingkan dengan gambar diatas. Untuk menambah space pemerintah kota Denpasar menutup saluran air/ selokan dengan plat beton yang dijadikan sebagai pedestrian yang dilengkapi dengan guiding block untuk disabilitas netra.



Trotoar sekaligus dilengkapi dengan ramp untuk mencapai
 ketinggian lantai ruko yang tingginya sekitar 60 cm dari 
permukaan jalan. Suatu penyelesaian yang baik dalam 
memberikan akses bagi penyandang berkebutuhan khusus. 
( Akses ini terletak di pertokoan yang menjual buku – buku 
di belakang Taman Pintar dekat Pasar Bringharjo Jogjakarta ).

Trotoar di Jalan Pettarani Makassar yang kurang memperhatikan pertemuan 
ujung pedestrian dengan jalan dengan ending yang mulus.