PENEMU AKSARA BRAILLE UNTUK PARA TUNANETRA
Oleh
: DR. Saharuddin Daming, SH., MH.
Salah satu
instrumen penting dalam kehidupan para penyandang Tuna Netra dewasa ini adalah
aksara timbul yang disebut Braille melalui perantaraan huruf ini, Tuna Netra
dapat membaca berbagai informasi dengan teknik perabaan pada ujung jari. Tapi
tahukah kita jika huruf braille yang telah dipakai oleh para Tuna Netra sedunia
untuk membaca dan menulis lebih dari satu abad, ternyata di ciptakan oleh
seorang tuna netra juga yang bernama Louis Braille.
Louis Braille
lahir pada tanggal 4 Januari 1809 di Coupvray, sebuah kota yang terletak 40 km
sebelah timur Paris Prancis. Hari kelahiran Louis Braille tersebut kemudian
menjadi hari Braille internasional. Ia adalah anak bungsu dari empat bersaudara
yaitu Louis Simon, Catherine Josephine dan Marie Celine. Ayahnya bernama Simon
Rene, seorang pembuat pelana dan perlengkapan kuda lainnya, sedang ibunya
bernama Monique ibu rumah tangga biasa.
Ketunanetraan
yang disandang Braille bukanlah dari bawaan lahir, melainkan timbul setelah ia
berusia lima tahun. Penyebab kebutaannya tidak langsung total, tetapi melalui
suatu tahapan selama kurang lebih dua tahun. Ketunanetraan yang disandang
Braille bermula pada tahun 1812, yang ketika itu ia berusia 3 tahun. Dimana
anak seusia ini, sudah memiliki rasa keingintahuan terhadap berbagai hal
termasuk profesi ayahnya. Ia kemudian melakukan eksperimen untuk mencoba-coba
meniru pekerjaan ayahnya yang dilihat cukup menyenangkan itu dengan memanjat ke
atas bangku kayu yang tinggi.
Suatu ketika
Simon Rene ayahnya sedang bepergian menemui petani yang memerlukan perlengkapan
kuda, Braille memanfaatkan kesempatan itu untuk memeriksa dan mencoba berbagai
peralatan kerja ayahnya. Ia mengambil
sepotong kulit dan meraih pisau dengan penuh minat meniru gerak-gerik
ayahnya. Akan tetapi alat pemotong yang sangat tajam bagi anak mungil yang
berumur tiga tahun seperti Braille, justru dapat menjadi alat yang sangat
berbahaya. Karena tidak lama kemudian di bengkel tempat Simon bekerja
sehari-hari, terdengar suara jerit tangis seorang anak yang merintih kesakitan.
Dengan sigap mereka yang mendengar suara tangis itu langsung berhamburan ke
tempat kejadian dan ironisnya Braille ditemukan menangis tersedu-sedu dengan darah
mengalir deras dari matanya. Setelah diamati sejenak maka dapatlah dipastikan
bahwa kecelakaan yang dialami Braille disebabkan oleh alat kerja ayahnya yang
terlepas dari tangan Braille kemudian menusuk matanya.
Monique ibu
Braille yang menyaksikan kejadian itu sangat panik dan bingung mau berbuat apa
untuk menolong putra bungsunya itu kecuali mengambil air bersih dan kain linen
putih bersih untuk membalut luka mata Braille yang berdarah. Seorang wanita tua
yang biasa mengobati dengan ramuan dari tumbuh-tumbuhan membawa sari bunga
teratai dan meletakkannya di atas mata Braille yang terluka. Sesaat kemudian,
Braille berhenti menangis, darah luka telah berhenti mengalir dan dokter
setempat telah berusaha menolongnya. Namun sangat disayangkan karena pada masa
itu ilmu kedokteran belum memiliki metoda penanggulangan infeksi sebagaimana
yang ditemukan Edward Ginner tentang obat penicillin.
Dengan rasa iba
dan prihatin, dokter-dokter dan anggota keluarga memandang luka pada mata
Braille yang memerah dan bengkak, kelopak matanya melepuh dan tampak memar
sebagai pertanda penglihatan Braille sulit dipulihkan. Betapa tidak karena
infeksi yang diderita mata Braille mulai menjalar ke mata sebelah. Akibatnya
dalam pandangan Braille, benda-benda di sekelilingnya menjadi kabur, dan
seakan-akan diselimuti kabut. Gerakannya menjadi kaku dan lebih berhati-hati.
Karena sudah
merupakan peristiwa yang berulang dan terjadi sehari-hari, semua anggota
keluarga akhirnya terbiasa melihat Braille menabrak-nabrak perabotan rumah,
terpeleset di tangga, menjatuhkan piring ketika meraih atau meletakkannya di
atas meja. Semua itu menandakan gejala-gejala kebutaan yang akhirnya menjadi
permanen ketika Braille berusia 5 tahun.
Ketika Braille
berusia enam tahun, atau tiga tahun sejak ia mulai mengalami kebutaan, Abbe
Jacques Palluy seorang pendeta datang ke desanya untuk suatu misi keagamaan.
Dalam melaksanakan tugasnya Ia kemudian berkenalan dengan Braille kecil dan
dalam beberapa minggu sang pendeta sudah menjalin persahabatan dengan Braille
kecil. Dari Abbe Paully, Braille yang telah Tunanetra banyak mengenal tentang
alam sekitarnya dan tentang agama yang diyakininya.
Atas saran dari
Abbe Palluy, Becheret seorang guru di desa itu menerima Braille sebagai murid
di sekolahnya. Sekolah yang menerima Braille tersebut adalah sekolah umum
(bukan sekolah luar biasa / sekolah khusus). Setiap hari Braille pergi ke
sekolah dan duduk di bangku depan dan sejak awal dia menjadi murid yang paling
pandai di kelas. Atas bantuan Abbe Palluy pula Braille diperkenalkan dengan
seorang bangsawan kaya di desanya yang bernama Marquis yang nantinya meminta
kesediaan Valentin Hauy pengelola sekolah luar biasa di Paris untuk menerimanya sebagai murid di
sekolah tersebut.
Pada tanggal 15
Pebruari 1819 Braille ditemani ayahnya berangkat menuju Paris, di kota itu ia
disambut dengan hangat oleh Dr. Guillie selaku direktur sekolah tersebut. Dalam
bebarapa hari Braille telah mempunyai teman dekat, Gabriel Gauthier, yang tetap
menjadi sahabat dekatnya selama sisa hidup Braille. Sedangkan dalam pelajaran
kerajinan tangan, Braille tidak menemui kesulitan sama sekali. Ia sangat tekun
dan lihai mengerjakan aneka keterampilan menganyam keranjang, merajut, membuat
sandal. Tidak heran jika di akhir tahun pertamanya, ia memenangkan hadiah untuk
kerajinan merajut dan membuat sandal.
Dalam hal membaca
dan menulis yang dipelajari di sekolah itu Braille dan kawan-kawan pada awalnya
menggunakan aksara yang membentuk kombinasi titik ciptaan Barbier (seorang
kapten arteleri pasukan Raja Louis XVII).
Meski peralatan
tersebut sederhana, tetapi sangat berguna bagi dunia tunanetra seperti Braille
untuk berkomunikasi dalam bahasa tulis. Alat tersebut berbentuk seperti mistar
dengan tujuh alur sepanjang mistar. Untuk menulis, sehelai kertas diletakkan
pada alat tersebut, sebuah jepitan diletakkan dengan tepat di kertas dan dapat
digeser-geser sepanjang mistar. Pada jepitan geser ada jendela kecil yang
berguna untuk membantu pemakai menempatkan titik-titik di atas kertas dengan
tepat, meletakkan kertas pada alur mistar dengan rapi. Titik atau garis dibuat
dengan bantuan alat mirip pensil berujung runcing dengan pegangan berujung
bulat. Alat itu disebut stylus yang di Indonesia disebut Pen.
Semakin pandai
Braille menggunakan sonografi ciptaan Barbier, ia semakin mengakui bahwa ada
kesulitan yang merepotkan dalam sistem ini, Braille berusaha membuat beberapa
perbaikan sementara. Eksperimen yang dilakukan Braille dari hasil perenungan
yang mendalam tentang metode penulisan yang lebih efektif dan efisien bagi kaum
senasibnya di masa depan, ternyata disambut gembira oleh teman-temannya dan
dengan antusias, ia menunjukkan hasil eksperimennya kepada Dr. Pignier.
Setelah
mempelajari sistem Braille dengan saksama, Dr. Pignier yang cukup terkesan menyarankan
untuk mendiskusikannya dengan Kapten Barbier, namun kapten Barbier menolak
keyakinan Braille yang berani mengoreksi sistem penulisan gaya lama. Karena
dengan menerima gagasan Braille dan kawan-kawan yang menuntut perubahan
terhadap sistim yang dibuat oleh kapten Barbier berarti kapten Barbier
kehilangan momen untuk tercatat dalam sejarah sebagai penemu aksara
tunanetra. Tidak heran jika kapten Barbier kerap memaksakan kehendaknya agar
sistem penulisan dan pembacaan yang diciptakannya, tetap dipakai.
Pada usia 13
tahun Braille mulai memantapkan tekadnya untuk menyusun sistem penulisan yang
paling efektif dan efisien bagi tunanetra. Ia bekerja dalam setiap waktu luang
yang ia curi-curi diantara kesibukan pelajaran sehari-hari, lalu mengerjakannya
lagi diwaktu malam begitu asrama beranjak sunyi.
Pertama, ia harus
mengurangi jumlah titik dari sistem Barbier sehingga tiap lambang dapat diraba
oleh satu ujung jari. Ia harus mengubah susunan titik-titik atau garis yang
biasa tumpang tindih dengan susunan lain. Tiap kelompok titik harus dapat
dibedakan tanpa salah dari kelompok titik lainnya. Rangkaian variabel inilah
yang menjadi kriteria sistem yang digagas Braille dan ia yakin tinggal menunggu
waktu untuk menemukannya.
Sekitar bulan
Oktober ketika tahun ajaran baru dimulai, Braille merasa bahwa alfabet
ciptaannya sudah siap. Ia telah menemukan cara untuk membentuk semua huruf
alfabet, tanda aksen, tanda baca, dan lambang-lambang matematika dengan hanya
menggunakan enam titik dan beberapa garis horizontal kecil. Kelompok titiknya
sekarang jauh lebih sedikit dari pada sistem ciptaan Barbier, sehingga hampir
tanpa menggerakan jari sama sekali huruf-huruf tersebut dapat teraba semua.
Ketika
mendengar kabar ini Gauthier teman dekat sekelasnya disekolah itu tidak dapat
menahan kegembiraanya. Murid-murid mengerumuni Braille ketika ia menulis dengan
kecepatan dan ketelitian yang mengesankan. Dalam beberapa jam, seluruh sekolah
telah mengetahuinya, dan Braille dipanggil Dr. Pignier untuk memperagakan
karyanya. Direktur sekolah Braille itu menatap penuh takjub akan demonstrasi
singkat tersebut “Karya Braille Sangat
sederhana, sangat teliti, dan rapi” ujarnya. Walau hanya enam titik, tetapi
anak cerdas ini telah menciptakan cara untuk membentuk keenam titik itu menjadi
enam puluh tiga kombinasi.
Pada
tahun 1826, ketika baru berumur 17 tahun, Braille mulai mengajar aljabar, tata
bahasa, dan geografi bagi murid-murid yang lebih muda. Braille menemukan
panggilan jiwanya; murid tunanetra ini dengan cepat menjadi guru yang pandai.
Menjadi guru sangat sesuai dengan panggilan hatinya. Perilakunya lemah lembut,
sikapnya menarik, pola pikirnya mudah dipahami, dan penuh perhatian pada
murid-muridnya.
Pada
tahun 1827 Braille mulai menerjemahkan sebuah buku tata bahasa ke dalam alfabet
ciptaannya, diikuti oleh buku pelajaran tata bahasa yang lain dua tahun
kemudian. Tahun 1828 ia mengembangkan sistemnya agar dapat dipakai untuk
menulis not musik. Pada tahun tersebut, ia menghilangkan bentuk garis dalam
sistemnya. Dalam praktek, garis memang mudah diraba, tetapi susah dibuat dengan
menggunakan stylus.
Pada
tahun 1829, diterbitkan edisi pertama Louis Braille, Methode Of writing
Words, Music and palin songs by means of dots, for use by the and arranged for
Them (Metode menulis kata, not musik dan lagu-lagu sederhana dengan sarana
huruf timbul untuk tunanetra). Buku ini merupakan pemunculan secara resmi
alfabet Braille asli. Tetapi memerlukan waktu yang bertahun-tahun untuk
memperjuangkan sistem Braille sebagai alfabet yang berlaku di lembaga tempat
Braille bersekolah dan menjadi guru.
Pada kata
pengantar dalam buku itu, Louis Braille membandingkan kelebihan-kelebihan
sistemnya dengan sistem ciptaan Kapten Barbier. Namun, dengan tulus, ia memberi
penghargaan kepada Barbier atas gagasan menulis dengan menggunakan huruf
timbul ini. Sehingga pada bulan Agustus
1828, yang ketika itu dia berusia sembilas belas tahun, Braille secara resmi
diangkat menjadi guru di lembaga tersebut. Ketika sekolah dibuka kembali
setelah liburan musim panas usai, ia mengajar tata bahasa, geografi, berhitung
dan musik.
Sebagai guru,
Braille adalah sumber inspirasi yang sangat cemerlang dan visioner. Ia
melaksanakan tugasnya dengan penuh karisma dan kebijaksanaan. Dengan sistemnya
yang cepat dan sederhana serta metode pengajaran yang sangat komunikatif,
murid-murid pun merasa sangat senang dan antusias menerimanya. Mereka
berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik bukan hanya untuk saling mengungguli
satu sama lain, tetapi untuk menarik hati guru yang sangat mereka kagumi
sebagai orang yang sangat hebat, selalu bersikap bijak dan berpengetahuan luas,
serta siap memberi nasehat yang tepat.
Sejak awal tahun
1830-an Braille sering kali jatuh sakit. Dan pada tahun 1831, Louis Simon kakak
sulungnya menyampailkan kabar bahwa ayah mereka telah meninggal dunia. Pada
saat itu Louis Simon datang seraya membawa surat terakhir ayahnya yang sempat
didiktekan sang ayah di pembaringan sebelum menghembuskan nafas yang terakhir.
Isi surat tersebut ditujukan kepada Dr. Pignier. Dimana Simon Rene ayah Braille
memohon kepada direktur agar tidak mengabaikan Braille, tidak membuatnya
menderita. Sehingga pada tahun 1835, kesehatan Braille semakin memburuk, ia
baru berusia awal dua puluhan, tetapi ia kerap kelelahan, sering terserang demam,
dan acap kali dadanya terasa sesak.
Suatu malam,
dengan sekujur tubuhnya panas terserang demam, mulutnya penuh darah. Dengan
kesakitan ia meminta tolong. Tidak disangsikan lagi Braille menderita
tuberkolosis berat. Pada masa itu penyakit ini sangat menakutkan karena belum
ada obat untuk menyembuhkannya.
Kemudian Dr.
Pigner mengatur ulang tugas-tugas guru, sehingga Braille hanya berkewajiban
mengajar sedikit kelas, jadi ia tak perlu banyak bicara. Dan hanya melakukan
persiapan-persiapan kecil, dengan kondisi ini Braille lebih punya kesempatan
untuk melanjutkan kegiatan penelitiannya. Pada tahun 1836 ia menambahkan huruf
W dalam alfabetnya sesui dengan permintaan murid-muridnya yang berasal dari
Inggris
Pada tahun 1839
Braille membuat huruf yang dapat dibaca baik orang yang tunanetra maupun yang
non tunanetra, Braille menyebut penemuan barunya Rafigrafi, murid-murid
di Lembaga tempat Braille mengajar, mempelajarinya dengan antusias yang sama
meluapnya ketika mereka mempelajari huruf Braille.
Penemuan ini
memperoleh kemajuan pesat ketika Francouis-Pierre Foucault, seorang rekan
Braille yang juga tunanetra tetapi kreatif dan berjiwa inovatif yang tinggal di
rumah sakit Quinze-Vingts, mengembangkan mesin untuk mencetak Rafigrafi.
Pada tahun 1843 Braille mengalami pendarahan dalam dan mulai batuk darah. Ia
terpaksa beristirahat berminggu-minggu. Dr. Allibert, (dokter sekolah) tetap
saja menganjurkan Braille banyak istirahat dan berhenti mengajar. Braille dan
Monsuir Daufau setuju.
Minggu demi
minggu berlalu kunjungan dari kawan-kawannya yang datang membesuk menyebabkan
Braille tak pernah ketinggalan berita mengenai aktifitas sekolah, bahkan sampai
ke hal-hal sepele. Cuaca musim semi yang hangat tampaknya membawa pengaruh baik
bagi kesehatan Braille, bersama Gauthier dan Coltat, ia pun mulai mengunjungi
Dr. Pignier yang tinggal tak jauh dari sekolah semenjak dipensiunkan. Tetapi
akibat kunjungan itu Braille mengalami pendarahan-dalam yang hebat kali ini Dr.
Allibert (dokter sekolah) sangat khawatir. Ia lalu mendesak agar Braille
bersedia pulang ke Coupvray dan beristirahat di sana.
Pada musim semi
1843, Braille pulang ke Coupvray kota kelahirannya dan tinggal di sana selama
enam bulan. Udara segar serta rawatan dengan penuh sayang oleh ibunya,
kekhawatiran yang hilang dan jauh dari suasana intrik persaingan tak
menyenangkan yang dikabarkan oleh Monsieur Dufau tampaknya membantu meringankan
beban penyakitnya. Ia merasa jauh lebih sehat. Namun, Coupvray juga
mendatangkan kesedihan bagi Braille di tahun itu. Antonie Becheret gurunya di
sekolah umum meninggal dunia. Becheret adalah orang terakhir yang masih hidup
yang amat berarti bagi Braille, karena Abbe Palluy dan Marquis d’Orvilliers
telah meninggal lebih dulu. Karena merasa jauh lebih sehat, maka Louis Braille memutuskan
untuk kembali ke Paris pada bulan Oktober 1843, namun ternyata situasi sekolah
di kota Paris jauh lebih buruk.
Pada awal tahun
1847 metode pencetakan baru yang disesuaikan dengan huruf Braille diuji coba di
sekolah. Dalam segi pengajaran, huruf Braille mulai menampakkan kelebihannya
dan membuat lompatan besar bagi mereka yang memanfaatkannya.
Menjelang tahun
1850, Braille merasa kesehatannya semakin parah, ia meminta pengunduran diri
dari segala kegiatan mengajar. Namun direktur justru menawarkannya untuk tetap
tinggal di lembaga dan memberinya tugas mengajar piano.
Menjelang
Desember 1851 Braille sakit parah, usianya belum mencapai empat puluh tiga
tahun. Dimana menurut Coltat, Braille mengalami pendarahan dalam yang amat
parah sehingga pada tanggal 4 Desember 1851 menyebabkan Braille tidak dapat
meninggalkan tempat tidur sama sekali.
Dengan
pembawaannya yang tenang, penuh metode, dan pertimbangan, yang sudah menjadi
sifatnya, ia mengatur segala macam urusan, mengatur agar ibunya dapat memperoleh
penghasilan dari tabungannya, mengatur agar keponakan-keponakannya menerima
sisa barang-barang miliknya.
Louis meninggal
pada tanggal 6 Januari 1852, dua hari setelah ulang tahunnya yang ke empat
puluh tiga (43). Dengan diringi rasa hormat dan kehilangan, Louis dimakamkan di
Coupvray. Selama tiga puluh tahun berikutnya Louis menjadi termashur di seluruh
dunia sebagai orang yang sangat berjasa bagi tunanetra. Louise Braille seorang
anak tukang pembuat perlengkapan kuda dari Coupvray Prancis telah berhasil
menciptakan media yang membuka jalan bagi penyandang tunanetra untuk memasuki
kehidupan yang lebih baik. Kini tunanetra dapat membaca, menulis,
berkomunikasi, belajar dan berkreasi dan dianggap sederajat dalam kehidupan
masyarakat, sebagai orang-orang berbudaya dan berpendidikan.
Selanjutnya akan dipaparkan petikan Peristiwa
- Peristiwa Penting dalam sejarah kehidupan Louise Braille.
1809
Tanggal 4 Januari Louis Braille
lahir di Coupvray Prancis.
(Yang sekaligus menjadi
hari Braille internasional)
1812
Musim panas Louis berusia 3
tahun , buta sebelah akibat kecelakaan
1813-1814
Berangsur-angsur kehilangan
penglihatannya yang sebelah lagi.
1815 Jacquis
Palluy menjadi pendeta di coupvray dan mulai mengajar Louis
1816 Antoine
Brecheret menawari Louis belajar di sekolah desa.
1819 Louis
berangkat ke Paris di sekolah tunanetra pada usia 10 tahun
1824 Setelah
2 tahun Louis belajar dan menyelesaikan alfabet titiknya pada usia 15 tahun
1825 Louis
belajar main piano
1827 Louis
menciptakan 6 titik
1828 Louis
menjadi asisten guru
1829 Louis
menerbitkan buklet yang menjelaskan 6 titiknya
1833 Louis
sebagai pemain organ sekolah dan tetap
bekerja selama hidupnya
1834 Dewan
lembaga menolak izin penggunaan alfabet ciptaan Louis
1835 Louis
memperlihatkan gejala tuberkolosis
1837
Buku dalam Braille ditulis dan
dicetak dalam lembaga oleh guru-guru
1843
Kesehatan Louis memburuk Ia pulang
ke Coupvray
1847 Foucault
bekerja sama dengan Louis menyelesaikan pengembangan mesin tik braille
1848
Penyakit Louis semakin parah ia
hanya dapat mengajar musik
1851 Louis
sakit parah sehingga dirawat di rumah sakit
1852 Louis
meninggal dunia berudia 43 tahun dan di makamkan di Coupvray
1854 Braille
dijadikan sistem resmi tunanetra di Prancis
1878 Kongres
internasional memilih Braille sebagai sistem terbaik bagi tunanetra di
dunia
1917 Braille
menjadi sistem keperluan umum di Amerika Serikat
1929 Notasi
musik Braille internasional diresmikan
1952
Jenazah Braille dipindahkan dari Coupvray ke Pantheon Paris,
yang merupakan suatu penghargaan tertinggi
bagi warga Prancis.
No comments:
Post a Comment