PEDESTRIAN
Oleh : Bambang Permadi S.K.
Pedestrian adalah salah satu unsur aksesibilitas. Pedestrian adalah jalur pejalan kaki atau penyandang disabilitas pengguna kursi roda, yang dirancang berdasarkan kebutuhan orang untuk
bergerak aman, nyaman dan tak terhalang.. Pedestrian bisa saja
didesain sebagai trotoar, bisa juga diletakkan agak masuk ke dalam jika luasnya
memungkinkan. Jadi semua trotoar adalah pedestrian, namun tidak semua
pedestrian adalah trotoar. Trotoar diletakkan persis dipinggir jalan raya. Trotoar
seperti yang kita saksikan dikota – kota di Indonesia
umumnya kurang memperhatikan aksesibilitas, misalnya pada ujung – ujung
pertemuan dengan jalan tidak dibuatkan ramp. Umumnya konstruksi ujung trotoar di
Indonesia
dibuat seperti tangga dengan perbedaan tinggi yang sangat menyolok dari beda 20
cm sampai 30 cm. Kondisi seperti ini sangat menyulitkan penyandang disabilitas bahkan non disabilitas sekalipun untuk
mengaksesnya. Ada
lagi trotoar yang terbuat dari paving block yang licin karena berlumut. Lebih
lebih lagi banyak yang pemanfaatannya bukan untuk pejalan kaki, misalnya
ditengah trotoar ditanam pohon – pohon pelindung, sehingga mengurangi space
untuk pejalan kaki. Bahkan di kota – kota besar seperti Makassar
misalnya banyak kita jumpai tiang – tiang listrik atau tiang telepon diletakkan
di tengah trotoar. Pemasangan tiang – tiang tsb. terkesan tidak ada koordinasi
antara PLN, TELKOM dengan Dinas Tata Kota. atau petugas – petugasnya tidak
mengetahui adanya aturan aksesibilitas yang tertuang dalam PerMen PU 30 Tahun 2006. Semestinya public space seperti ini diperhatikan, sehingga kota tidak nampak semrawut
dengan pemasangan- pemasangan tiang seperti itu.
Ada juga trotoir yang dibuat sangat
membahayakan bagi disabilitas netra, karena trotoar tsb. diletakkan
berdampingan dengan selokan besar dan dalam , serta tidak dilengkapi dengan
handrail seperti yang kita lihat di Jln. Urip Sumoharjo - Makassar.
( Lihat gambar ). Dan hampir di semua kota (
kecuali beberapa kota
seperti Denpasar) , trotoar yang dibuat tidak
dilengkapi dengan guiding block, warning block maupun jalur pengaman pada sisi
trotoir. Untuk kota seperti Yogyakarta, public space untuk pejalan kaki
sangat diperhatikan, indikasi adanya respect bagi pejalan kaki sangat
diterapkan. Itu bisa kita lihat pada kawasan Malioboro. Kesadaran dan pemahaman
masyarakatpun cukup baik. Tapi itu baru Yogya, Bandung dan Denpasar. Sebagian besar kota di Indonesia
perilaku warga masyarakatnya yang kurang menyadari arti pentingnya pedestrian.
Mereka dengan seenaknya membuat kedai – kedai atau warung – warung di atas
trotoar atau mereka jadikan trotoar sebagai tempat parkir kendaraan. Pembangunan
trotoar yang makan biaya besar terkesan asal ada fisiknya tanpa memikirkan asas
kemudahan, keselamatan, kenyamanan, kemandirian, keamanan, keindahan dan rasa keadilan. Ujung – ujungnya
Pemerintah Kota yang disalahkan dengan semrawutnya penataan pedestrian yang
menjadi tempat bagi pedagang kaki lima
mengais rejeki. Pemerintahpun sebetulnya sudah berbuat dengan menempatkan
pedagang kaki lima
itu pada tempat – tempat khusus untuk menjajakan dagangannya. Namun jumlah
pedagang kaki lima
membludak hingga tak tertampung di satu tempat. Ini adalah ekses dari
pengangguran dan kurangnya lahan pekerjaan yang tersedia. Program penataan kota oleh Pemerintah Kota
dinilai kurang berhasil. Tapi itu bukan kesalahan Pemerintah Kota semata. Kita
semua bertanggung jawab dengan masalah – masalah yang ada di sekitar kita. Jadi
kunci dari keberhasilan Pemkot dalam program ketertiban dan keindahan kota adalah pemahaman
seluruh petugas akan peraturan dan komitmen dari seluruh petugas untuk saling
berkoodinasi, juga sosialisasi kepada masyarakat agar masyarakat sadar akan
aturan. Kembali ke masalah pedestrian. Secara teknis pedestrian harus memenuhi
persyaratan teknis aksesibilitas. Persyaratan – persyaratan sebagai berikut :
a. Permukaan
Permukaan jalan harus stabil, kuat, tahan
cuaca, bertektur halus tetapi tidak licin. Hindari sambungan atau gundukan pada
permukaan, kalaupun terpaksa ada, tingginya harus tidak lebih dari 1,25 cm.
Apabila menggunakan karpet, maka ujungnya harus kencang dan mempunyai trim yang
permanen.
b. Kemiringan
Kemiringan maksimum 70 dan pada
setiap jarak 9 m disarankan terdapat pemberhentian untuk istirahat.
c. Area
istirahat
Terutama digunakan untuk membantu pengguna
jalan penyandang disabilitas.
d. Pencahayaan
Berkisar antara 50-150 lux tergantung pada
intensitas pemakaian, tingkat bahaya dan kebutuhan keamanan.
e. Perawatan
Dibutuhkan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
kecelakaan.
f. Drainase
Dibuat tegak lurus dengan arah jalur
dengan kedalaman maksimal 1,5 cm, mudah dibersihkan dan perletakan lubang
dijauhkan dari tepi ramp.
g. Ukuran
Lebar minimum jalur pedestrian adalah 120
cm untuk jalur searah dan 160 cm untuk dua arah. Jalur pedestrian harus bebas
dari pohon, tiang rambu-rambu dan benda-benda pelengkap jalan yang menghalang.
h. Tepi
Pengaman
Penting bagi penghentian roda kendaraan
dan tongkat tuna netra ke arah area yang berbahaya. Tapi pengaman dibuat
setinggi minimum 10 cm dan lebar 15 cm sepanjang jalur pedestrian.
Untuk
penyandang disabilitas ditambah dengan syarat lain yaitu :
a. Pemasangan handrail pada trotoar di ujung
–ujung persimpangan/ tempat penyeberangan dan diberi warna menyolok.
b. Pemilihan material untuk permukaan
trotoar, tidak boleh licin.
c. Pemilihan trotoar khusus pada tempat
tertentu untuk memberikan perbedaan bagi disabilitas netra (mulut tempat
penyeberangan dsb)
d. Lebar trotoar dan jalan setapak agar
diperhitungkan untuk kemungkinan dapat dilewati oleh roda.
e. Ketinggian rambu-rambu lalu lintas,
reklame dan tanda-tanda lain diatas trotoar harus dapat dilewati oleh
penyandang disabilitas netra.
Di tempat – tempat rekreasi pedestrian
harus memperhatikan hal – hal sbb :
a. Kemiringan dan lebar jalan setapak harus
memenuhi persyaratan untuk dilalui kursi roda.
b. Setiap perbedaan tinggi pertemuan jalan
harus dilengkapi dengan ramp dan handrail tangga.
c. Pada setiap jembatan dan pinggiran kolam
yang dianggap membahayakan perlu diberikan pagar pengaman.
d. Pertemuan plaza dan jalan-jalan setapak
tidak boleh licin.
e. Apabila terdapat rambu-rambu, papan
penunjuk atau bidang reklame di atas plaza/jalan setapak maka ketinggian harus
aman terhadap pejalan kaki disabilitas netra.
Contoh – contoh
gambar pedestrian :
T
Trotoar di Jalan Urip Sumoharjo Makassar, perhatikan trotoir yang ditanami pohon berdampingan dengan selokan lebar dan dalam, sangat membahayakan penyandang disabilitas netra juga pengguna kursi roda.
T
Trotoar di Jalan Urip Sumoharjo Makassar, perhatikan trotoir yang ditanami pohon berdampingan dengan selokan lebar dan dalam, sangat membahayakan penyandang disabilitas netra juga pengguna kursi roda.
Trotoar di Denpasar. Coba kita bandingkan dengan gambar diatas.
Untuk menambah space pemerintah kota Denpasar menutup saluran air/ selokan
dengan plat beton yang dijadikan sebagai pedestrian yang dilengkapi dengan
guiding block untuk disabilitas netra.
Trotoar di Jalan Pettarani Makassar yang kurang
memperhatikan pertemuan
ujung pedestrian dengan jalan dengan ending yang mulus.
|